Lidah adalah salah satu nikmat Allah dan
keajaiban penciptaan-Nya. Kecil fisiknya tetapi besar ketaatan atau
kedurhakaannya, sebab kejelasan antara kufur dan iman seseorang hanya diketahui
dari kesaksian lidahnya. Iman dan kufur merupakan tingkatan tertingggi bagi
ketaatan dan kedurhakaan.
Dengan anggota tubuh kecil ini seseorang bisa
menungkapkan kehendaknya dan mengekspresikan perasaannya. Dengannya ia meminta
orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, membela dirinya dan mengungkapkan isi
hatinya. Dengannya ia menyapa teman duduknya dan menghibur sahabat karibnya.
Dengannya ia bisa jatuh dan terhina atau bangkit meraih kehormatannya. Orang
yang diam tidak mengungkapkan kebenaran merupakan setan yang bisu dan dia telah
bermaksiat kepada Allah. Orang yang menyampaikan kebatilan merupakan setan yang
berbicara, ia juga bermaksiat kepada Allah.
Secara umum bahaya lisan ada pada kesalahan
dalam berbicara, berdusta, menggunjing (ghibah), adu domba (namimah), bermuka
dua (nifaq), berkata-kata kotor, berdebat yang tidak ada gunanya, memuji diri
sendiri, membicarakan kebatilan, menyebarkan permusuhan, menyakiti orang lain,
menodai kehormatan orang lain, dan sebagainya. Komitmen bersikap diam
memungkinkan seseorang untuk menghimpun tekad, mengedepankan sikap tenang,
fokus untuk berfikir, berdzikir, beribadah dan selamat dari bahaya lidah, baik
di dunia maupun di akhirat.
Hendaknya seorang mukmin berhati-hati dari
berbagai bahaya lidah tersebut, sebab kelak ia akan dihisab (diadili) dan
mendapat balasan. Allah Ta’ala berfirman, “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya
melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS.
Qaaf: 18) Dan firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang
tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu
akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS.Al-Israa`: 36)
Di antara hadits-hadits yang menunjukkan
masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia selalu mengucapkan
yang baik atau ia diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam juga
menjadikan salah satu tanda kebaikan Islam seseorang adalah tindakannya
meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk dirinya. Nabi Sallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, “Di antara tanda-tanda bagusnya keislaman seseorang
adalah tindakannya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk dirinya.”
(HR. At-Tirmidzi). Ketika ditanya tentang perkara yang lebih banyak memasukkan
orang ke dalam neraka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Mulut
dan kemaluan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Saudaraku, perhatikanlah betapa penting perkara
ini, betapa besar bahaya lisan berikut ucapan yang keluar darinya. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba berkata,
(bisa saja) dengan perkataan itu menyebabkannya terperosok ke dalam api neraka,
yang lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata
–seakan-akan ia melihat realitas kehidupan orang pada hari ini-, “Anehnya,
seseorang begitu mudah menjaga diri dari memakan makanan haram, tindakan
zhalim, zina, mencuri, minum khamar, melihat yang haram, dan lain sebagainya,
tetapi ia sulit menjaga lidahnya. Kamu bisa melihat orang yang terpandang dalam
urusan agama, ahli ibadah dan seorang zuhud, tetapi ia mengucapkan kata-kata
yang menuai murka Allah, sedangkan dia tidak peduli sama sekali. Dengan satu
kata saja ia bisa tergelincir ke dalam api neraka lebih jauh dari jarak antara
timur dan barat. Betapa banyak kamu melihat orang yang mejaga diri dari
kekejian dan kezhaliman, tetapi lidahnya selalu menodai kehormatan orang yang
hidup dan yang sudah meninggal dunia, tanpa sedikit pun memikirkan apa yang ia
ucapkan.”
Saudaraku, penyakit lidah yang paling mewabah
adalah ghibah (menggunjing). Yakni, tindakan anda yang menyebut-nyebut sesuatu
dari saudara anda yang tidak ia sukai bila mendengarnya, baik yang anda sebutkan
itu adalah kekurangan pada fisik, nasab (keturunan), akhlak, perbuatan, ucapan
atau keberagamaannya, bahkan pada pakaian, rumah atau kendaraannya.
Bergunjing haram hukumnya berdasarkan ijma’
(konsensus) kaum muslimin, tidak ada yang dikecualikan dari hukum ini selain
untuk sesuatu yang ditegaskan sisi maslahatnya, seperti dalam hal jarh wa
ta’dil (studi kelayakan para perawi hadits) atau untuk nasehat. Allah Ta’ala
berfirman, “…Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang
lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Tentu kamu merasa jijik.…”(QS. Al-Hujuraat: 12)
Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam
menjelaskan tentang ghibah (bergunjing), sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa beliau Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tahukah kalian apa ghibah itu?” Mereka (para shahabat) menjawab, “Hanya Allah
dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Kamu menyebutkan
tentang saudaramu apa yang tidak dia sukai.” Lalu ditanyakan kepada beliau,
“Bagaimana pendapat engkau bila apa yang aku sebutkan itu ada pada diri
saudaraku?” Beliau bersabda, “Jika apa yang kamu sebutkan itu ada pada dirinya,
maka kamu telah menggunjingnya, dan jika tidak ada pada dirinya, maka kamu
telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)
Bergunjing merupakan tindakan menciderai
kehormatan kaum muslimin, padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah
melarang hal tersebut dalam sabdanya, “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan
kalian haram bagi kalian (untuk diciderai).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dalam
hadits lain Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Setiap muslim atas
seorang muslim haram darahnya, harta bendanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
Jauhilah gunjing dalam ucapan maupun
pendengaran, sebab gunjing sebagaimana yang dikatakan Ali bin Hasan, “Bagaikan
daging santapan anjing-anjing peliharaan manusia.”
Saudaraku, gunjing tidak terbatas pada ucapan
semata, melainkan bisa terwujud pada perbuatan, isyarat, kedipan mata, sindiran,
tulisan, dan gerakan. Setiap sesuatu yang bisa dipahami dengan bermaksud
mengunjing orang lain, maka ia adalah gunjing dan hukumnya haram. Berusahalah
untuk membela kehormatan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, “Barang siapa yang menyelamatkan kehormatan saudaranya, maka Allah
akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka pada hari kiamat.” (HR.
At-Tirmidzi)
Saudaraku, di antara hal yang mewabah di
majelis-majelis pertemuan orang adalah celaan dan mengolok-olok yang hukumnya
adalah haram. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka
(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan
jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena)
boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang
mengolok-olok)…” (QS. Al-Hujurat: 11)
Mengolok-olok adalah tindakan merendahkan,
menghina dan menunjuk aib dan kekurangan orang lain, bisa dilakukan dengan
perbuatan dan ucapan, bisa juga dengan isyarat dan sindiran. Jenis
mengolok-olok yang paling berat adalah mengolok-olok agama Islam dan kaum
muslimin. Karena bahaya dan besarnya masalah ini, para ulama bersepakat bahwa
mengolok-olok Allah, agama-Nya, dan Rasul-Nya adalah tindakan kufur yang besar,
mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Sebagian orang semakin ‘kreatif’ dalam mencela
dan mengolok-olok, ada yang mengolok-olok hijab (jilbab) muslimah, yang lain
mencela penerapan syari’at Islam, ada yang mencaci para penyeru amar ma’ruf
nahi munkar. Sunnah juga tidak luput dari olok-olok mereka, ada yang
mengolok-olok jenggot, ada yang mencela pakaian pendek yang tidak menutup mata
kaki (tidak isbal), padahal keduanya merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam.
Untuk mengetahui bahaya mengolok-olok agama,
mari kita simak firman Allah Ta’ala, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya
mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main
saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya
kamu selalu berolok-olok?” Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah
kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah
tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 65-66).
Di dalam asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat,
disebutkan bahwa seorang munafik berkata, “Aku tidak melihat para pembaca
Al-Qur`an kita (maksudnya Rasulullah dan para shahabatnya), kecuali orang-orang
yang paling buncit perutnya, paling berdusta lidahnya, paling pengecut ketika
bertemu musuh.” Ucapan ini sampai terdengar oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam ketika beliau hendak melakukan perjalanan dan sudah menaiki untanya.
Orang munafik tadi berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami hanya bergurau
dan bermain-main.” Lalu beliau membaca ayat, “…Mengapa kepada Allah, dan
ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?…” (QS. At-Taubah: 65)
Allah menjelaskan posisi kaum pengolok terhadap
kaum mukminin dan para pengusung kebaikan, dalam firman-Nya Ta’ala, “Kehidupan
dunia dijadikan terasa indah dalam pandangan orang-orang yang kafir, dan mereka
menghina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu berada
di atas mereka pada hari Kiamat.” (QS. Al-Baqarah: 212)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri
telah memperingatkan bahaya-bahaya lidah, beliau bersabda, “Celakalah orang
yang berdusta dengan mengucapkan satu ucapan untuk membuat orang lain tertawa.
Celaka baginya, celaka baginya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa,
dalam menjawab pertanyaan tentang masalah seseorang yang berkata kepada orang
lain, “Hai jenggot.” dengan maksud mengolok-oloknya, menyatakan, “Mengolok-olok
jenggot merupakan kemungkaran yang besar. Jika maksud orang tersebut
mengatakan, ‘Hai jenggot’ adalah mengolok-olok, maka itu adalah tindakan kufur.
Namun bila maksudnya adalah memberi julukan bagi orang tersebut agar mudah
dikenal, itu bukan tindakan kufur. Namun demikian, tidak seyogianya seseorang
memangggil dengan panggilan tersebut.”
Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Sebagian
orang pekerjaannya hanya mencari kesalahan ulama, baik yang ia temui maupun
tidak, kemudian ia berkomentar, ‘Seharusnya yang lebih fleksibel adalah begini
dan begini.’ Dikhawatirkan orang tersebut menjadi murtad, ia mencela mereka
hanya karena mereka orang yang taat beragama.”
Kita akan mengakhiri majelis penuh berkah ini
dengan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang kita junjung tinggi
dengan penuh cinta dan penghormatan, yang kita taruh di depan pelupuk mata, dan
siap diamalkan dan dipraktekkan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda kepada para shahabatnya, “Tahukah kalian siapakah orang yang pailit
itu?” Mereka menjawab, “Seorang pailit bagi kami adalah orang yang tidak
mampunyai dirham dan barang dagangan.” Beliau bersabda, “Seorang pailit dari
umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat,
puasa, dan zakat, ia pun datang dan telah mencela ini, menuduh ini berzina, dan
memakan harta milik orang ini, telah menumpahkan darah orang ini, dan memukul
ini. Maka pahala amal baiknya diberikan kepada orang ini dan orang ini, bila
amal kebaikannya telah habis sebelum tuntas bebannya, maka kesalahan mereka
diambil dan diberikan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR.
Muslim)
Ya Allah, sucikanlah lidah-lidah kami dari
semua bahaya dan jadikanlah ia selalu berada dalam ketaatan kepada-Mu. Ya
Allah, perbaikilah kondisi kaum muslimin. Wahai Tuhan kami, ampunilah kami,
orang tua kami dan segenap kaum muslimin.
Redaktur: Abu Hafsah
Sumber: Kitab Arba’una Darsan Liman Adraka
Ramadhan karya Syaikh Abdul Malik Bin Muhammad Bin Abdurrahman Al-Qasim
Post a Comment